Inflasi vs Deflasi: Mana yang Lebih Bahaya? (Lanjutan)
Rahma Mieta Mulia, SE, M.Si, CFP® | @rahmamieta
10 Mins Read
Pada artikel sebelumnya, saya sudah membahas definisi inflasi dan deflasi. Lalu, antara inflasi dan deflasi mana yang lebih berbahaya?
Baik inflasi dan deflasi, keduanya bisa membahayakan di tingkat tertentu. Inflasi yang masih berada di angka normal (misalnya sekitar 2-3%), yang masih bisa dikontrol, dan diikuti oleh kenaikan upah bisa mendorong daya beli konsumsi dan investasi, yang bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang postif *).
Namun jika lebih tinggi dan tidak diimbangi dengan kenaikan upah, maka standar kehidupan masyarakat bisa menurun drastis karena mereka tidak bisa memenuhi biaya hidup sehari-hari (tingkat konsumsi menurun). Harga barang dan jasa yang semakin mahal membuat nilai riil simpanan masyarakat di bank menjadi lebih rendah karena daya belinya juga berkurang. Masyarakat menjadi enggan menabung sehingga perbankan mengalami kebangkrutan. Pajak yang dibayarkan menurun yang pada akhirnya berefek pada berkurangnya pendapatan Pemerintah yang digunakan untuk memenuhi operasional suatu negara.
Begitu pula dengan deflasi. Deflasi dalam jangka pendek bisa mendorong konsumsi karena harga barang dan jasa menjadi lebih murah dari biasanya (daya beli meningkat). Selain itu, tingkat menabung juga bisa bertambah karena berkurangnya biaya hidup dan pada akhirnya bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Namun, jika penurunannya cepat dan terjadi dalam jangka panjang, maka bisa jadi pertanda adanya kontraksi ekonomi yang bisa menyebabkan resesi atau bahkan depresi ekonomi**). Penurunan harga secara terus menerus akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Lalu, pengangguran bisa meningkat; pendapatan, daya beli, dan konsumsi masyarakat pun menurun. Hasilnya pertumbuhan ekonomi akan negatif.
Inflasi dan deflasi yang berlebihan memang sangat merugikan. Oleh karena itu, Pemerintah dan bank sentral di setiap negara termasuk Indonesia, tentu akan melakukan upaya pencegahan melalui kebijakan-kebijakan moneternya. Krisis-krisis ekonomi yang sudah dilalui sebelumnya, bisa dijadikan pembelajaran agar tidak terulang. Tugas kita sebagai warga negara adalah memberi dukungan kepada Pemerintah, serta menyiapkan kondisi finansial kita untuk siap menghadapi situasi ekonomi apapun.
*) Pertumbuhan ekonomi dilihat dari angka Produk Domestik Bruto (PDB)/Gross Domestik Prduct (GDP). Salah satu cara menghitung PDB adalah melalui pendekatan pengeluaran, yaitu menjumlahkan pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga (konsumsi), sektor usaha (investasi), pemerintah (belanja pemerintah), serta ekspor dan impor.
**) Resesi terjadi saat pertumbuhan negatif minimal 6 bulan berturut-turut. Depresi adalah resesi yang terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama, bisa mencapai 3 tahun atau lebih. Ditandai dengan penurunan PDB/GDP minimal 10% dalam setahun.