Pemulihan dalam Kemandirian

Tim Jendela Investasi

5 Mins Read


Tema pemulihan ekonomi setelah melewati masa pandemi, adalah semangat kita dalam menjalani hari-hari di tahun 2023. Dalam banyak kesempatan kita menerima peringatan-peringatan akan masalah-masalah yang akan dialami ekonomi kita. Ini persis seperti ketika kita baru sembuh dari sakit, maka dokter akan memberikan banyak wejangan dan wanti-wanti tentang hal-hal apa saja yang harus dijaga agar pemulihan kesehatan berjalan dengan baik. Hal ini penting sekali karena kalau terjadi perburukan dalam masa pemulihan, maka bisa saja kondisi kesehatan pasien akan sangat memburuk. Pemerintah kita menyadari itu, karena memang tidak mudah untuk melewati masa pemulihan ketika situasi secara global, masih sangat lemah. Jadi, kalau kita harus sehat, maka kita harus secara mandiri menjaga kesehatan kita semasa pemulihan, sebab kita tidak bisa berharap bantuan dari negara-negara lain yang juga sedang tertatih-tatih.

Secara fundamental, kita boleh sedikit tenang karena beberapa indikator ekonomi kita masih cukup sehat. GDP kita masih bertumbuh positif walaupun melambat, masih di atas 5%, tepatnya di 5,01%. Angka inflasi juga terjaga di kisaran 5% dengan likuiditas yang cukup sehat karena angka Simpanan Pihak Ke Tiga di Bank berbanding cukup seimbang dengan angka pertumbuhan kredit. Jadi keseharian komsumsi rumah tangga tidak terganggu dan ini terlihat dari terus meningkatnya angka konsumsi rumah tangga.

Sumber: tradingeconomics.com

Meski begitu, ada fakta-fakta global yang harus diwaspadai sebagai potensi masalah yang bisa menghambat pemulihan ekonomi kita. Pertama, semakin rajinnya bank-bank sentral di luar negeri menaikkan suku bunganya. Misalnya bank-bank di Eropa dan di Amerika. Sedangkan suku bunga bank sentral kita tidak meningkat banyak karena memang tidak ada urgensinya. Hal ini membuat jarak antara sukubunga bank-bank Eropa dan Amerika dan sukubunga Bank Indonesia menjadi sangat sempit. Sekarang ini, suku bunga bank sentral US sudah di 5%, suku bunga Bank of England sudah 4.25% sedangkan suku bunga Bank Indonesia masih 5.75%. Sempitnya spread antara suku bunga ini dapat memicu mengalirnya uang investor ke luar dari Indonesia.

Fakta kedua yang perlu dicermati juga adalah penurunan angka ekspor dan impor yang kemungkinan disebabkan melemahnya bisnis di luar negri sehingga terjadi perlambatan perpindahan barang keluar dan masuk Indonesia. Jika rekan dagang kita di negara luar mengalami penurunan aktifitas bisnis, maka hal ini akan berpengaruh pada kegiatan ekonomi kita yang imbasnya dapat memacu angka Pemutusan Hubungan Kerja menjadi lebih tinggi.

Sumber: BPS, diolah

Secara keseluruhan, kita bisa melihat bahwa dari dalam negeri sendiri, kita dapat secara mandiri menggerakkan roda ekonomi dengan pertumbuhan belanja rumah tangga. Apalagi sebentar lagi kita akan menjalani Pemilihan Umum yang biasanya akan meningkatkan belanja dalam negeri. Tapi kita juga harus waspada dengan situasi global yang kurang menguntungkan untuk belanja korporasi sehingga kita harus menciptakan bisnis pada sektor nyata (real sectors) untuk memacu pergerakan ekonomi. Bisnis dalam bidang pariwisata, makanan dan kebutuhan harian, komunikasi, infrastruktur, kesehatan adalah contoh-contoh bisnis dalam negeri yang dapat menyumbang pergerakan ekonomi. Bisnis nyata ini membuka lapangan kerja yang banyak dan tersebar ke seluruh negeri. Sehingga pada akhirnya akan memberikan penguatan pada pemulihan ekonomi kita.

Lalu, kalau demikian bagaimana strategi investasi kita? Investasi dalam bidang sektor nyata maupun surat berharga yang terkait bisnis-bisnis tersebut dapat menjadi pilihan investasi kita. Misalnya, jika profil risiko anda cocok untuk investasi saham, maka saham-saham dari bisnis nyata itu layak untuk dikoleksi jangka panjang. Pada dasarnya ketika investasi saham sedang melemah seperti akhir-akhir ini, maka ini merupakan kesempatan yang baik bagi investor jangka panjang karena prospek jangka panjang kita masih sangat cerah. Di lain pihak, pilihan untuk obligasi dan pasar uang tetap menjadi pilihan yang baik untuk mengatasi peningkatan inflasi dalam rentang waktu menengah dan pendek. Emas yang akhir-akhir ini harganya meningkat, ternyata memperbesar juga rentang harga antara harga jual dan harga beli Kembali. Sebagai contoh pada tanggal 28 Maret 2023 harga jual emas Antam 1 gram Rp1.077.000 (sebelum pajak) dan harga buy back Rp962.000, atau rentang (spread) 10,6%. Jadi kalau Anda membeli emas hari ini dan menjualnya lagi dalam waktu singkat, Anda berpotensi mengalami kerugian sebesar 10%. Rentang yang cukup lebar ini mencerminkan spekulasi yang lebih kuat akibat kekhawatiran fundamental ekonomi. Jadi, emas juga lebih cocok untuk investasi jangka panjang, di atas 5 tahun.

Jadi, jangan khawatir karena fundamental ekonomi negara kita cukup kuat, jadi tetaplah belanja produk dalam negeri semaksimal mungkin, konsisten menabung dan berinvestasi sesuai profil risiko dan tujuan investasi lalu kalau memungkinkan, ciptakanlah lapangan kerja untuk anak bangsa.

Kita pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat.

PERHATIAN

Pandangan yang diungkapkan, termasuk hasil dari kejadian di masa depan, adalah pendapat tim Jendela Investasi OneShildt hanya pada 28 Maret 2023, dan tidak akan direvisi untuk kejadian setelah dokumen ini diserahkan kepada editor untuk dipublikasikan. Pernyataan di sini tidak mewakili, dan tidak boleh dianggap sebagai, nasihat investasi. Anda tidak boleh menggunakan artikel ini untuk tujuan investasi. Artikel ini mencakup pernyataan berwawasan ke depan untuk peristiwa masa depan yang mungkin atau mungkin tidak berkembang sesuai pendapat penulis. Sebelum membuat keputusan investasi, Anda harus berkonsultasi dengan penasihat investasi, bisnis, hukum, pajak, dan penasihat keuangan Anda sendiri.

Tim Jendela Investasi:

  1. Imelda Tarigan, DRA, PSY, MBA, CFP®, QWP®
  2. Budi Raharjo, CFP®, QWP®, AEPP®, MCHT
  3. Mohamad Andoko, MM, CFP®, QWP®, AEPP®, MCHT
  4. Erlina Juwita, MM, CFP®, QWP®, CSA®
  5. Agustina Fitria Aryani, CFP®, QWP®, AEPP®, CSA®
  6. Rahma Mieta, SE, M.Si, CFP®
  7. Lusiana Darmawan, S.Kom, CISA, CFP®, CSA®