Mana Lebih Dulu, Bayar Utang atau Punya Dana Darurat?

Ully Safitri, CFP®, CHRP | @ully.safitri

2 Mins Read


Seperti istilah chicken and egg memang, jika dana surplus bulanan terbatas, dana darurat belum ada, sementara utang masih banyak, mana yang harus kita prioritaskan terlebih dahulu. Yap! Keduanya sama pentingnya. Dana darurat bagai sedia payung sebelum hujan, jika kelak seluruh keran penghasilan kita mati atau mampet, kita tetap bisa hidup, terpenuhi sandang, pangan, dan papan, serta bisa tetap membayar cicilan-cicilan, minimal 3-6 kali pengeluaran bulanana untuk yang statusnya masih lajang. Sedangkan melunasi utang, sama pentingnya, karena kemudian kita bisa menyisihkan surplus dana bulanan untuk berinvestasi.

Prioritas pertama, kumpulkan dana darurat, minimal 1x pengeluaran bulanan dalam waktu secepatnya, selambatnya 6 bulan. Misal pengeluaran bulananmu 10 juta, setiap bulannya kamu bisa menyisihkan 2 juta untuk menabung dan membayar utang. Maka dalam 5 bulan saja kamu akan memiliki dana darurat senilai 10 juta rupiah.

Memasuki bulan keenam, kamu bisa menambah dana darurat hingga minimal 3x pengeluaran bulanan, serta mepercepat pelunasan utang konsumtif. Utang konsumtif itu apa saja, misalnya utang kartu kredit, utang KTA, dan utang pinjol. Utang-utang yang biasanya jangka pendek dan bunganya besar. Di masa ini, disarankan untuk tidak menambah utang dahulu hingga utang-utang konsumtif tersebut lunas.

*DD : Dana Darurat

Misal, di bulan kelima kamu sudah memiliki dana darurat 1x pengeluaran sebesar 10 juta rupiah, memasuki bulan keenam, kamu tetap menyisihkan dana sebesar 2 juta rupiah/ bulan, dan dari dana tersebut kamu bisa pisahkan 50% untuk menambah tabungan dana darurat, dan 50% lainnya untuk percepatan pelunasan utang-utang konsumtif (atau jika kamu tidak punya utang konsumtif, maka bisa dialokasikan untuk investasi). Ketika kita bebas dari utang konsumtif, kita memiliki 100% kebebasan untuk mengelola uang kita dan tidur nyenyak di malam hari. Apakah kita boleh berutang lagi? Tentu saja, selama tidak melebihi 35% porsi penghasilan kita untuk berutang, dan tentu lebih baik memiliki utang produktif, seperti KPR misalnya, sehingga di akhir utang kita memiliki aset.