Cermat Berinvestasi di Tengah Inflasi

Tim Jendela Investasi

5 Mins Read


Pada tanggal 23 Agustus 2022 yang lalu, Bank Indonesia baru saja menaikkan suku bunga acuan BI 7days Reverse Repo Rate sebesar 25 basispoin (0,25%) menjadi 3,75% untuk mengantisipasi inflasi yang kemungkinan akan semakin tinggi.

(sumber: www.bi.go.id , diolah)

Tren kenaikan inflasi memang sudah terjadi sejak dua bulan lalu. Kemungkinan besar tren ini akan terus berlanjut apalagi setelah pemerintah benar-benar menaikkan harga bahan bakar minyak jenis Pertalite dan Solar. Secara teori salah satu cara untuk meredam kenaikan inflasi adalah menaikkan suku bunga. Namun banyak hal lain yang mempengaruhi kebijakan ini.

(sumber: www.bi.go.id , diolah)

Dampak dari kenaikan inflasi dan suku bunga akan terasa pada masyarakat berupa kenaikan harga barang, meskipun kenaikannya tidak merata pada semua jenis barang dan jasa. Selain itu kenaikan bunga utang juga akan naik karena suku bunga naik. Padahal, dari sisi pendapatan, kenaikan harga jual barang tidak menghasilkan keuntungan bisnis bagi pelaku bisnis, karena harga bahan baku, biaya operasional dan biaya utang juga naik. Artinya, pertumbuhan ekonomi juga akan terbatas. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa biaya akan naik, padahal pendapatan tidak naik sebanding dengan kenaikan biaya.

Dalam situasi seperti itu, apa yang harus kita lakukan? Pertama, tentu saja kita harus susun ulang lagi anggaran. Semakin meneliti mana pos pengeluaran yang menjadi kebutuhan dan mana yang harus diprioritaskan. Penghematan akan biaya konsumtif harus semakin diperketat agar investasi masih terus berjalan dan produktivitas masih terjaga. Ya, dalam situasi seperti ini, investasi dan produktivitas harus terus berjalan agar nanti ketika inflasi sudah mereda dan suku bunga kembali turun, kita akan dapat menikmati return yang tinggi karena nilai investasi yang meningkat.

Mengutip saran dari Warren Buffet, dalam masa inflasi tinggi maka CASH IS TRASH. Jadi sebaiknya tidak menyimpan uang kas dalam jumlah besar, karena nilainya akan terus turun sejalan dengan naiknya inflasi. Sebaiknya uang diinvestasikan dalam sektor-sektor yang produktif. Misalnya, membeli aset yang mungkin dijual murah karena pemilik lamanya sedang butuh uang. Manfaatkan membeli aset rumah yang sedang diskon tapi sebaiknya dengan uang kas atau kalau mau memanfaatkan kredit maka kompisisi DP nya lebih besar , semakin besar semakin baik, agar akumulasi biaya bunganya tidak terlalu besar karena suku bunga yang tinggi.  Atau membeli mobil, tapi disarankan untuk membeli mobil baru dengan DP yang besar juga karena suku bunganya lebih murah dari pada suku bunga pembiayaan mobil bekas. Jangan lupa, bahwa aset itu semua dibeli untuk tujuan produktif, jadi bukan untuk dinikmati sendiri, misalnya rumah dan mobil untuk digunakan berbisnis.  Baik juga kalau ini merupakan rumah atau mobil pertama untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas.

Investasi dalam aset kertas seperti saham atau obligasi juga masih dapat disarankan. Pemilihan saham tentu saja harus sangat selektif karena secara umum tren IHSG akan melemah, seperti yang sudah kami sampaikan pada Jendela Investasi edisi akhir tahun 2021 dan awal tahun 2022. Pilihlah saham yang prospeknya akan bagus, yang bisnisnya tidak terganggu walaupun ada inflasi karena memang produknya dibutuhkan konsumen walaupun dalam situasi inflasi, misalnya sektor kesehatan, termasuk obat dan rumah sakit, atau sektor makanan pokok atau makanan sehari-hari (bukan jasa restoran mahal). Dukungan untuk prospek bisnis makanan dikarenakan harga komoditas bahan makanan global sedang dalam tren penurunan sehingga dapat menekan biaya produksi.  Selain itu, saham yang mendukung teknologi digital juga prospeknya akan bagus karena teknologi digital akan semakin berkembang. Risiko volatilitas harga saham pasti akan terjadi, namun ini dapat dimitigasi dengan melakukan diversifikasi dan pemilihan saham yang terbaik untuk investasi jangka panjang.

Obligasi ritel pemerintah juga dapat dijadikan pilihan investasi yang baik karena tingkat pengembaliannya lebih tinggi dibandingkan deposito dan risiko nya sangat kecil. Namun pilihan ini hanya akan produktif untuk disimpan hingga masa berakhirnya obligasi tersebut.

Dalam situasi akhir-akhir ini, di mana harga emas cenderung flat atau menurun, porsi alokasi investasi emas sebaiknya dibatasi. Hal ini juga telah kami sampaikan dalam Jendela Investasi edisi akhir tahun 2021 dan awal tahun 2022. Investasi emas memang sudah menjadi budaya kita, ini baik untuk diteruskan namun alokasinya yang lebih terukur. Investasi emas sebaiknya dalam bentuk batangan bukan perhiasan, atau tabungan emas.

(sumber: www.harga-emas.org , diolah)

Investasi produktif lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah real business, seperti mendirikan usaha atau meminjamkan uang pada pebisnis melalui Peer to Peer Lending atau penyertaan kepemilikan dalam bisnis melalui Equity Crowd Funding. Antisipasi risiko gagal bayar dari Peer to Peer Lending dapat dimigitasi dengan mempertimbangkan angka Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB) di platform-nya dan dengan menganalisa prospek kesehatan bisnisnya. Sedangkan risiko yang harus diantisipasi pada Equity Crowd Funding adalah likuiditas, artinya saham yang sudah dibeli tidak mudah untuk dijual kembali. Risiko operasional dari bisnis yang dibeli di Equity Crowd Funding juga harus dianalisis dengan baik. Penilaian langsung ke lapangan tempat bisnis berlangsung, bisa dijadikan salah satu cara untuk melengkapi analisis. Jangan lupa, pilihlah platform yang sudah terdaftar di OJK.

Jadi, inflasi bukan merupakan halangan untuk berinvestasi. Investasi bahkan semakin disarankan untuk dilakukan ketika tabungan kita berlebih, karena uang dalam tabungan nilainya akan semakin menurun. Agar uang kita lebih produktif, pilihlah investasi yang sesuai dengan profil risiko, tujuan keuangan dan jangka waktu yang diinginkan. Kita harus tetap produktif dalam menyikapi inflasi dan tentu saja tetap jaga kesehatan.

Disclaimer

PERHATIAN

Pandangan yang diungkapkan, termasuk hasil dari kejadian di masa depan, adalah pendapat tim Jendela Investasi OneShildt hanya pada 6 September 2022, dan tidak akan direvisi untuk kejadian setelah dokumen ini diserahkan kepada editor untuk dipublikasikan. Pernyataan di sini tidak mewakili, dan tidak boleh dianggap sebagai, nasihat investasi. Anda tidak boleh menggunakan artikel ini untuk tujuan investasi. Artikel ini mencakup pernyataan berwawasan ke depan untuk peristiwa masa depan yang mungkin atau mungkin tidak berkembang sesuai pendapat penulis. Sebelum membuat keputusan investasi, Anda harus berkonsultasi dengan penasihat investasi, bisnis, hukum, pajak, dan penasihat keuangan Anda sendiri.

Tim Jendela Investasi:

  1. Imelda Tarigan, DRA, PSY, MBA, CFP®, QWP®
  2. Budi Raharjo, CFP®, QWP®, AEPP®, MCHT
  3. Mohamad Andoko, MM, CFP®, QWP®, AEPP®, MCHT
  4. Erlina Juwita, MM, CFP®, QWP®, CSA®
  5. Agustina Fitria Aryani, CFP®, QWP®, AEPP®, CSA®
  6. Rahma Mieta, SE, M.Si, CFP®
  7. Lusiana Darmawan, S.Kom, CISA, CFP®, CSA®