Rencana Tapering AS, Apakah Menakutkan?

Rahma Mieta Mulia, SE, M.Si, CFP® | @rahmamieta

5 Mins Read


Kalau kamu update dengan berita-berita ekonomi belakangan ini, kamu pasti sudah dengar berita mengenai rencana bank sentral AS (The Fed) untuk melakukan tapering. Tapi, apa kamu tau apa itu sebenarnya tapering? Yuk, kita bahas sedikit di tulisan ini.

Untuk tau soal “tapering”, kita perlu tau dulu istilah Quantitative Easing atau biasa disingkat QE. QE adalah salah satu kebijakan moneter dimana bank sentral akan mencetak uang untuk membeli surat utang jangka panjang (bukan hanya yang dikeluarkan Pemerintah), sehingga meningkatkan jumlah uang beredar yang pada akhirnya akan mendorong tingkat kredit dan investasi sebagai stimulus ekonomi. Kebijakan QE ini dilakukan ketika kebijakan Operasi Pasar Terbuka cara konvensional (membeli surat utang Pemerintah jangka pendek) tidak bisa lagi dilakukan karena suku bunga acuan yang sudah terlalu rendah namun stimulus perekonomian masih dibutuhkan. Nah, tapering adalah kebalikannya.

Saat bank sentral mengumumkan akan melakukan tapering berarti bank sentral tersebut akan menurunkan jumlah pembelian surat utang jangka panjangnya, atau bisa dikatakan bank sentral tersebut akan mengurangi atau menghentikan stimulus perekonomiannya melalui QE. Tapering biasanya dilakukan ketika kebijakan QE dirasa sudah memenuhi target pencapaiannya. Kalau saja bank sentral terus menerus memberikan stimulus padahal kondisi ekonomi sudah stabil, maka bisa terjadi inflasi yang tidak terkendali.

Pelaksanaan kebijakan tapering akan dilakukan bank sentral secara bertahap, dimulai dari mengumumkannya ke pada publik (pasar) mengenai rencana tapering tersebut. Dengan demikian, publik bisa melakukan persiapan/penyesuaian sebelumnya sehingga ekspektasi para pelaku pasar bisa lebih terarah dan ketidakpastian kondisi pasar kedepannya bisa diminimalisir.

Lalu, apa dampaknya bagi Indonesia?

Di tahun 2013, ketika US melakukan kebijakan tapering, rupiah mengalami pelemahan. Hal ini dikarenakan para investor asing menarik modalnya dari Indonesia untuk kembali diinvestasikan di AS. Suplai/ketersediaan dolar dalam negeri menjadi berkurang dan menyebabkan rupiah tertekan. Selain itu, tapering juga menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang-barang impor (termasuk diantaranya bahan baku dan bahan penolong) akibat pelemahan rupiah tersebut. Tidak lupa juga, tapering mengakibatkan IHSG (indikator pasar modal) melemah saat itu.
 

Laporan Statistik Harian BEI per 23 November 2021. Sumber: www.idx.co.id

 

Tapi, kita tidak perlu khawatir. Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dampak tapering tahun ini tidak akan separah seperti di tahun 2013 lalu karena The Fed sudah mengkomunikasikan hal ini sebelumnya. Para pelaku pasar diharapkan sudah melakukan persiapan menghadapi rencana tapering US. Fundamental ekonomi Indonesia yang cukup baik juga menjadi alasan yang membuat kita tidak perlu khawatir terhadap dampak tapering nantinya. Selain itu, peningkatan jumlah investor domestik ternyata juga berperan dalam menjaga kestabilan pasar modal kita saat tapering US dilakukan. Berbeda dengan dulu saat pasar modal kita masih didominasi asing, saat ini investor domestik kita sudah lebih mendominasi. Berdasarkan data harian Bursa Efek Indonesia per 23 November 2021, terlihat bahwa porsi investor domestik pada perdagangan di pasar modal sudah mencapai 75%. Keren kan!